Dua Jam dengan Belgis

 Perempuan itu tertawa kecil, tangannya mengode bilang tidak sambil menutupi wajahnya, saat aku bertanya, apakah Kamu ada keturunan dari Arab? Kalau India bagaimana?

Siang itu ia menerima kedatanganku di rumahnya, jaraknya sekilo dari Stasiun Cawang, Jakarta. Kami duduk berhadapan di ruang tengah yang melihatkan banyak buku dan lukisan pajangan. Perempuan itu bernama Belgis , 30 tahun. Matanya terlihat belo, cukup besar dan bulat. Alisnya tegas dan meruncing ke sisi luar, rambutnya tak lebih melewati bahu. Belgis memiliki suara yang bulat, besar, dan sangat jelas pengucapannya.

Ia kuterka mewarisi darah Arab, atau India, atau mungkin Turki? Akan tetapi dugaan yang kutanya-tanya sejak awal berjumpa itu keliru. Perempuan kelahiran 1994 ini berdarah Jawa dan Timor Leste. Jawa ia dapati dari ayahnya yang merupakan militer, sementara itu Timor Leste dari ibunya.

Belgis bercerita, ia merupakan mahasiswa di Universitas Jentera semester 2. Namun sebelum itu dirinya sudah menggondol gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Melanjutkan kembali berkuliah karena ia ingin belajar hukum. Di samping itu perempuan anak ke dua dari tiga bersaudara ini termasuk dalam kepengurusan Lembaga Swadaya Masyarakat Greenpeace. Beberapa kali terlibat dalam kampanye menyelamatkan lingkungan hutan Indonesia.

Dalam perbincangan siang itu sembari menyomot Pempek, Belgis menceritakan tak mudah awalnya menjalani pergerakannya seperti ini, mengingat ayahnya berprofesi sebagai militer.

“Militer, Jawa, patriarki, Islam lagi,” sebutnya.

Akan tetapi Belgis tetap menjalani hal yang disukainya, sebab itu adalah hak pilihnya.

Tubuhku adalah tubuhku, imbuhnya.

Ia bilang sejak kecil terbiasa diajak berdialog oleh ayahnya, mempertanyakan dan berdiskusi tentang banyak hal. Meskipun kata Belgis ada beberapa pilihan yang tak bisa dicapainya.

Suatu hari menyoal PLTU Batam, kasus yang diadvokasinya, perkara ini melibatkan masyarakat dan militer. Belgis kemudian bertanya ke ayahnya, kenapa militer begini? Yang mendapati jawaban, tak semua yang ada di militer seperti itu. Ditambah lagi para tentara hanya mengikuti mandat dari atasan, tidak bisa bergerak tanpa arahan.

Hal-hal semacam itu kerap membuat  ia marah, bayangan imajinasi tentang sosok militer TNI sudah buyar. Sebab dari kecil Belgis hanya tahu dan melihat TNI bekerja dan berjuang untuk mendampingi masyarakat. Ini dilihatnya dari sosok ayahnya dan teman-temannya yang selalu siap dikirim ke suatu daerah untuk membantu bencana alam. Bahkan pernah ayahnya dalam keadaan demam menerima arahan untuk memperbaiki jembatan saat  hujan-hujan. Ia hanya tahu tugas dari TNI seperti itu, bersikap baik dan menomor satukan masyarakat.

 Bayangan ini tak serupa begitu Belgis masuk ke ranah LSM dan dihadapi berbagai kenyataan, kalau kekuatan militer digunakan untuk menahan masyarakat. Bahkan jumlahnya diturunkan banyak sekali saat berhadapan dengan para warga.

“Imajinasiku tidak begitu, imajinasiku runtuh.”

Aku menanyakan dia buku apa yang disukainya, saat mataku melihat-lihat koleksi buku milik Belgis, berjajar di dinding rumahnya. Paling mengesankan baginya adalah buku berjudul All About Love, mengisahkan tentang cinta yang tak semestinya disandingkan dengan kekerasan. Belgis berkata, orangtua kerap memukul anaknya atas alasan kepedulian dan cinta, sepasang kekasih posesif dan lakukan kekerasan dengan alasan tak mau kehilangan dan sangat mencintai.


Komentar

Postingan Populer