Jakarta pada 2024

Pengumuman masuk ke surel, aku disebut lulus kelas Jurnalisme Narasi 2024 yang ditaja Yayasan Pantau. Lama latihan selama enam minggu, lokasinya di Jakarta. Aku senang, bergembira, tetapi juga khawatir, bagaimana aku ke sana? Maksudnya, apakah aku benar-benar sendirian, di kota metropolitan itu? Bisakah?

Ini bukan pertama kali ke Jakarta. Tetapi pertama kalinya aku akan hidup dan pergi sendirian. Selama enam minggu. Tanpa siapapun?

Aku pun menghubungi mamak untuk memohon restu. Dia lalu diam sesaat, lalu berkata pergilah. Mamak emang tak suka drama, ia membiarkanku pergi ke manapun jika memang tujuannya untuk belajar. Lain halnya dengan bapak, ia suka khawatir, suka bertanya, dan aku tidak suka dikhawatirkan apalagi ditanya-tanya. 

Malam itu, rencana kepergianku ke Jakarta kami rahasiakan dari bapak. Walaupun saat hendak naik pesawat aku mengirimkan foto di pesawat ke dia. "Hehehe ke Jakarta," kataku di WhatsApp.

Kalau kalian pernah menonton FTV, kameramen menyorot orang-orang yang pertama kali ke Jakarta mendengakkan kepalanya ke gedung menjulang dan itu dinilai norak, aku pun melakukan itu. Mataku mendelik ke atas, pura-pura sudah akrab dengan pemandangan itu. Padahal kepalaku kian diisi pertanyaan, seperti apa saja yang dikerjakan di dalam sana, apakah ada ruangan yang tak digunakan, karena barangkali mereka membangun jumlah lantai tanpa dihitung-hitung.

Aku lalu membandingkan pemandangan ini dengan kotaku, Pekanbaru. Aku mengingat, bangunan tinggi itu ada The Peak Hotel, Menara Dang Merdu, atau yang terdekat di kos itu Riau Pos. Tapi di Jakarta, itu banyak. Tak terhitung dan jangan dipikirkan. 

Kagum. Ajaib. Hebat

Itu 3 kataku untuk Jakarta. 

Selain gedung yang berdiri dengan sombong, ada juga orang-orang yang berjalan kaki di tepi jalan raya. Apa ini? Tanyaku dalam hati. Jumlah mereka banyak, dan mereka berjalan dengan nyaman. Tanpa jalan yang bolong rusak, dan ah, itu begitu rapi, enak dilihat, dan menyenangkan sekali. 

Aku bergabung dengan pejalan kaki, menggunakan fasilitas itu, membuatku begitu tersanjung.

Belum selesai, aku kemudian kagum dengan transportasi umum ajaib di sini. Ada namanya Jaklingko, program yang disiapkan Gubernur Jakarta masa itu, Anies Baswedan, sangat membantu orang-orang yang tidak memiliki kendaraan. Hanya bermodal menempelkan kartu, bisa mobilisasi secara gratis. Apalagi kendaraan bus di sini, armadanya ada banyak, tak lama menunggu, serta halte yang didesain dengan nyaman. Ditambah para pelayanannya yang baik dan cekatan, serta jam operasionalnya 24 jam.

LRT, MRT, KRL. Sama dengan Jaklingko, saat naik bus dan kereta diminta untuk tap in, bedanya kalau naik bus dan kereta kartu yang sudah diisi saldo itu akan berkurang  saat melakukan tap out.

Bukan hanya transportasi, tempat publik di sini harus diberi tepuk tangan. Jumlah perpustakaan bukan hanya ada tiga, taman kota tak terhitung jumlahnya, serta tempat  diskusi dimana-mana. Patut, pikirku. Jika orang yang tinggal di Jawa kebanyakan beberapa lebih  maju dibanding penduduk lainnya. Mereka memiliki tempat diskusi yang banyak, tempat membaca yang nyaman, dan infrastruktur yang mendukung



Aku berpikir, kapan ya Pekanbaru akan seperti ini? Usia berapakah aku saat itu? Siapa pula pemimpinnya kala itu?

Aku kemudian menyampaikan hal itu pada orang-oran yang di sini, tentang kekagumanku akan Jakarta. Ia membalas begini.

"Iya benar Ellya. Tapi itu juga kurang benar, karena sebenarnya ga semua transportasi umum itu merata di Jakarta. Lalu ga semuanya trotoar itu tempat yang nyaman. Kemudian lihat, polusi di Jakarta benar-benar serius. Maksudnya, yang kau bilang itu tak salah. Tapi ada juga kekurangan lainnya."


Komentar

Postingan Populer