Aku Indonesia, Maka Aku (Bebas) Beragama

Luka lantaran perbedaan. Maksudnya, luka dikarenakan tidak serupa dengan kebanyakan. Siapa yang menginginkan dan menciptakan perasaan luka ini?

Ke-ra-ga-man di Indonesia selalu  diagung-agungkankan. Mulai dari suku, agama, warna kulit, atau bahasa. Keragaman ini menjadi berkah sekaligus ancaman bagi yang tidak serupa dengan kebanyakan.  Ambillah contoh keragaman pada agama.

Pertentangan agama menjadi pembahasan yang tak bosan-bosan untuk orang yang miliki banyak waktu guna mencari kesalahan. Bagi suatu kelompok, agamanya adalah agama yang paling benar. Tidak ada agama lain setelahnya. Begitu juga dengan kelompok lainnya. Polemik ini timbulkan konflik yang berujung pada kekerasan. Juga munculkan kubu yang bernama minoritas mayoritas.

Kau nih minoritas. Ikuti sajalah.

***


freepik.com

Tahun 2019, bertempat di Kabupaten Indragiri Hilir, terjadi penolakan tempat peribadatan pada Gereja Pantekosta di Indonesia atau GPdI. Pembubaran terjadi saat  pendeta usai beri khotbah tentang kasih terhadap sesama. Saat itu 118 warga tandatangani pernyataan tidak setuju adanya keberadaaan gereja. Yang miliki 30 keluarga jemaat. Gereja pun disegel, para jemaat akhirnya berpindah tempat untuk langsungkan ibadah.  Karena tak penuhi syarat seperti yang tertuang dalam pasal tentang Pendirian Rumah Ibadah, penggusuran nampaknya boleh saja dilakukan. Biarpun melanggar nilai dan makna Pancasila yang berbunyi, keadilan  sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[1]

Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab jika ada yang masuk neraka, lantaran tak ada ‘halaman’ untuk beribadah? Apa harus berada pada satu  agama supaya aman dalam menyembah Tuhan?

Jeritan yang tak terdengar lainnya. Dibunyikan pada kelompok Islam Ahmadiyah. Di Pekanbaru sendiri, beberapa penganut Ahmadiyah sengaja tidak terbuka akan identitas. Alasannya lantaran banyak yang masih belum terbuka. Karena Ahmadiyah dikatakan sesat, bukan Islam, dan menyimpang. Bahkan ranah pendidikan pun sempat mengusir murid dari kelasnya karena menganut Ahmadiyah[2].

 Begitu banyak kasus lainnya tentang tantangan meyakini sebuah agama. Keindahan isi agama nyatanya tak mengindahkan pemikiran. Barangkali perlu dievaluasi dari para pemerintah yang tegakkan aturan. Mengapa kasus keagamaan selalu terjadi berulang-ulang, di Indonesia?

Makna agama miliki arti tatanan yang mengatur peribadatan dan kepercayaan kepada Tuhan, hubungan antarmanusia, serta manusia dengan lingkungan. Beda agama, beda pula pengajarannya. Tapi tak ada satupun agama yang mengajarkan cara memusuhi agama lainnya.

Indonesia mengesahkan enam agama besar. Ada Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Konghucu, juga Budha. Ada juga agama-agama asli nusantara yang masih bertahan hingga kini. Ialah Kejawen, Sunda Wiwitan, Djawa Sunda, Kaharingan, Tolotang, dan masih banyak lainnya.

Enam agama besar bukanlah simbolis belaka. Untuk kelancaran hidup, Negara minta agama diterakan di Kartu Tanda Pengenal atau KTP. Selain enam agama tadi, tidak bisa. Hal ini yang jadi alasan  penganut agama lainnya cantumkan salah satu dari enam agama tersebut. Ada yang memilih Islam supaya lebih aman, para Kejawen mayoritas pilih agama Islam atau Katolik. Tentunya hal ini lahirkan perasaan tidak nyaman dan merasa sepaham.  

Negara seolah-olah telah merenggut Hak Asasi Manusia pada kebebasan memilih agama.

Jumlah agama di Indonesia yang tidak tunggal pun, membuat dan mengajarkan manusia untuk tidak lupa bertoleransi, dan menghargai. Akan tetapi praktik toleransi pada perbedaan agama terasa sulit dan sungkan untuk dilakukan. Mengapa Indonesia rentan dengan konflik beda agama? Konflik beda aliran.



[1]BBC Indonesia

[2] Hasil wawancara dengan Ahmadiyah Pekanbaru

Komentar

Postingan Populer