Catatan Taufiq

Tepat pukul dua siang, mobil Inova berwarna hitam yang sudah dipesan itu berhenti di depan kos, beralamat Jalan Bina Warga. Pak supir dengan baju warna putihnya turun, membukakan pintu untuk sih penumpang.

Pak supir atau yang bernama lengkap Taufik Hidayat memiliki tubuh yang tegap. Rambutnya tersisir rapi ke samping, dan bersetel celana panjang hingga mata kaki. Kulitnya kuning langsat, matanya sedikit cekung.  Lelaki berusia kepala tiga ini asli keturunan Jawa Tengah. Tiap bertutur, selalu menyelipkan dialek bahasa jawa. Ia melangkah dengan santai membuka bagasi belakang dan memasukkan beberapa tas sih penumpang yang dijemputnya.

“Barang sampeyan banyak?” tanyanya.

“Ini doang.” Penumpang memperlihatkan tiga tas ukuran sedang.

Ada empat kotak besar dalam bagasi, hingga Taufiq perlu menurunkan satu persatu untuk menyusun barang di belakang.

“Banyak penumpang om?”

“Alhamdulillah.”

Memerlukan waktu hingga lima menit untuk menyusun barang di belakang. Usai membereskan semuanya, penumpang diarahkan duduk paling belakang. Secara keseluruhan, ada tujuh kepala yang dibawa Taufiq hari itu. Perjalanan semuanya sama, ke Rokan Hulu.

Lagu Vanny Vabiola menjadi teman di perjalanan. Jarak tempuh perjalanan kurang lebih 117 Km dilalui dengan begitu santai. Taufiq menyalakan AC, mengkondisikan penumpang supaya bisa duduk dengan senyaman mungkin.

 Seperti itulah hari-hari Taufiq tiap harinya. Bangun pagi jam enam, bersiap-siap mengantar penumpang ke Pekanbaru, dan kembali lagi ke rumah pada pukul tujuh malam. Tidak hanya menjadi supir ke Pekanbaru, bahkan ia juga mengantar penumpang ke Lampung, Medan, bahkan Jawa.

“Jam terbang saya tinggi,” kekehnya sambil menyetir.

Taufiq mulai merintis menjadi supir travel pada tahun 2011. Di lain itu, ia juga membuka usaha foto copy depan rumahnya. Hilangnya satu persatu anggota, berakibat lumpuhnya usaha foto copy Taufiq. Untuk travel, Taufiq berkata itu dimulai dari modal nekat dan kemauan. Sebelas tahun mengemban profesi ini, Taufiq sudah berganti tiga mobil. Yang pertama Avanza, kedua Inova, dan terakhir Inova lagi. Semua mobil ini dibeli dengan status bekas, karena sayang sekali jika mobil baru digunakan untuk travel. Karirnya dimulai dengan melihat peluang. Saat itu travel di daerahnya belum banyak, hingga Taufiq berninisiatif merintis travel.

Jauh sebelum menjadi supir travel, Taufiq juga sempat mengajar di Sekolah Dasar. Dua setengah tahun saat ia bergabung di sana, ia langsung memutuskan untuk keluar begitu saja.

“Kok bisa? Bukannya sayang?” tanya penumpang penasaran.

“Ga sesuai.”

“Kok ga sesuai?”

“Ga sesuai dengan pemikiran saya.”

‘Pemikiran om bagaimana emang?”

Taufiq terdengar menghela napas panjang. Dijelaskan, ranah pendidikan baginya adalah untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa, bukan untuk melakukan penyimpangan.

“Lucu kalau saya diminta melakukan tindak korupsi dan propaganda di lembaga pendidikan,” terangnya. Tambahnya lagi, tiap ranah pendidikan bagi Taufiq selalu ada tindak kecurangan di dalamnya, dan hal itulah yang membuatnya menjadi risih sekali. Daripada ia menghabiskan waktunnya di sana, Taufiq memutuskan untuk pindah haluan.

“Tapi itu bukan alasan utamanya, ada lagi yang lain. Pembayaran saya untuk mengajar di sana tidak sesuai. Lebih baik saya memanfaatkan potensi saya,” sambungnya lagi.

Sejak duduk di bangku SMA, Taufiq mengaku sudah jualan. Usahanya saat itu adalah menjadi sales rokok, dan menjual HP. Kalau temannya ada yang ingin mencari HP, buru-buru Taufiq mencarikan untuknya. Pun untuk sales rokok, Taufiq tidak menjualnya di sekolah. Sepulang sekolah, ia menjajakan rokoknya pada orang-orang dewasa.

Mengenai kuliah, saat itu Taufiq hanya menganggap hal semacam itu hanya formalitas. Pemikiran yang ditanamkan orangtuanya tumbuh sebagai PNS atau karyawan di perusahaan besar yang akhirnya menjadikan ia sebagai sarjana. Meskipun demikian, Taufiq merupakan aktivis saat mahasiswa.

“Saya juga ikut demo dulu. Tapi ya, tidak seperti saat ini,” kata Taufiq. Ia membandingkan demonstrasi masa kini dan masanya dulu. Hari ini, kata dia penuh dengan  pengekangan. Tidak sebebas saat ia dulu demo.

“Kalau sekarang ada yang di drop out,” kata penumpang.

“Iya, juga yang demo hanya beberapa saja. Sebaiknya kompak secara merata,” kata dia.

Sambil mengemudi, lelaki yang juga ayah satu anak itu berpesan pada dua penumpangnya. Kalau untuk kuliah mencari gelar, lebih baik segera diselesaikan. Taufiq baru menyadari hal itu, bahwa ilmu lebih penting dari apapun. Kuliah masa kini, hendaklah benar-benar dikuliti ilmunya. Skill itu nantinya yang akan menjadi modal usaha kita. Untuk mencari jati diri tidak harus setelah wisuda katanya.

“Kalau kita pandai Photo Shop, coba pikirkan bagaimana caranya kita mempekerjakan orang dengan skill itu. Bukan malah dikerjain sama orang,” kata Taufiq.

Sempat bercerita tentang pengalamannya menjadi supir travel. Taufiq banyak menelan pengalaman pahit dari para penumpangnya. Mengingat itu, Taufiq terkekeh. Pernah tidak dibayar, pernah dikatakan kemahalan hingga diberi umpatan, hingga pernah pesanan yang tiba-tiba dibatalkan. Taufiq dengan santai tidak marah dengan para penumpangnya. Ia belajar untuk membiarkan, mengihklaskan. Dampaknya pada hari esok. Tiba-tiba kebanjiran penumpang, atau mendapat uang saku tambahan.

“Ngerasa dirugikan ga sih om karena PPKM?” tanya penumpang lagi. Taufiq terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu.

Tangannya mengetuk ngetuk setir mobil, dan dengan ringan sama sekali ia tidak dirugikan dengan adanya PPKM. Menurut Taufiq, nilai kerugian adalah fleksibel. Tanpa adanya PPKM pun kadang ia merasa dirugikan, akan tetapi tidak selamanya PPKM memberi dampak buruk bagi pekerjannya.

Namun, Taufiq juga bertutur pengalamannya pertama kali covid melanda. Sebulan penuh ia tidak pergi mengangkut penumpang. Tidak ada mahasiswa, tidak ada orang pergi ke bandara, dan tidak ada alasan Taufiq berkendara. Sempat ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi supir travel hari itu. Lalu tiba-tiba ia berpikir, apa yang mau diberikannya makan pada anak dan istri?

Taufiq akhirnya kembali pada pekerjaannya. Berkendara di inova hitamnya.

“Penghasilannya emang berapa?”

“Sehari itu lima ratus ribu ke atas.”

“Sudah dipotong minyak?”

“Sudah. Dua ratus ribu.”

Ting… Ting… Bunyi dari gawainya yang berwarna putih mengehentikan obrolan kami. Mobilnya ditepikan ke pinggir jalan. Ia lalu keluar dan membuka bagasi belakang.

Taufiq mengeluarkan satu kotak besar yang terlihat seperti paket dari seseorang. Setelah bercengkrama dengan orang di luar, Taufiq masuk lagi ke dalam mobilnya. Ia meneruskan perjalanannya yang tidak terasa tinggal dua kepala penumpang lagi.

“Om capek ga sih setiap hari kaya gini?”

“Tidak, karena saya tidak menganggapnya sebagai beban.”

Taufiq bercerita, selama ini rasa lelahnya selalu dicintainya. Nantinya, rasa lelah itu akan menjadi nikmat yang berdampak pada hilangnya rasa lelah.

“Saya punya keluarga, nanti saat pulang saya bermain dengan anak saya. Dan rasanya menyenangkan sekali,” kata Taufiq mengakhiri.

 

 

 ini tulisan panjang pertama ellya, wawancarai om topik di jalan pulang^^ paham, tulisannya tak fokus dan melebar, tapi comel kalau diingat ingat prosesnya hahaha

Komentar

Postingan Populer