Dibeli dengan Bangku, Daging, dan Bibir

Mereka adalah orang-orang hebat di pergerakan dan lingkungannya. Mereka adalah kelas atas dalam piramida masyarakat. Kelas terdidik. Namun, setelah pakaian mereka kusingkap, tersingkap juga kelemahan diri. Harga diri dan moralitas mereka yang rapuh itu bisa kutawar dengan secuil dagingku. -Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, hlm. 236



sumber: Scribd

Selepas satu bulan lebih selesaikan novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, banyak hal terungkap yang selama ini kuagungkan di sekitar lingkunganku. Pandangan tentang kebesaran manusia pelafal firman Tuhan langsung rontok, usai kuketahui bahwa itu adalah salah satu cara mereka untuk lakukan 'jual beli' penawaran yang selama ini dibesar-besarkan. Muhidin mengajariku dengan narasinya untuk tidak mudah mempercayai siapapun. Mau singgasananya tempat suci, pakaiannya tutupi mata kaki, atau bibirnya yang tak henti ceritakan kisah nabi, hendaknya semua orang haruslah hati-hati.

Terlalu banyak manusia tertipu, dengan pura-pura kebijaksanaan dan kuasa yang dipegang. Seperti halnya pada Nidah Kirani. Kekecewaannya pada dakwah yang selama ini menjadi harapannya, langsung terpatahkan. Bukannya mudah untuk membangun kepercayaan, ada waktu, harta, dan keluarga yang harus dikorbankan. Namun Tuhan memilih bungkam untuk mengarahkan Kirani.

Tak usah jauh-jauh kasusnya seperti gadis ini. Perhatikan lingkungan kampus atau tempat kerjamumu, berapa banyak orang yang bersembunyi di kemeja sucinya, lalu saat sendirian ia 'telanjangi' teman-temannya bermodal orasi yang dianggapnya luar biasa? Kebanyakan orang mudah terkelabu, saat pembicara gunakan pakaian yang dilabeli suci. Yang pangkatnya tinggi. Yang statusnya dimimpikan bisa menaikkan harga diri. Sial, kasihan sekali orang ini.

Salah satu bagian dari bacaan novelnya, "betapa lemahnya manusia ditinjau dari pakaian statusnya, yang ternyata melompong pedalamnya." h. 140

Ini cukup membuat terkesima, alias menyadarkan bahwasannya aku pun salah satu dari orang yang dibuatnya tertipu dengan tampilan dan pidato seseorang. Emang, kepribadian dan penampilan katanya dianggap miliki hubungan yang selaras. Layaknya, orang yang baik akan berpenampilan dan tutur kata baik pula. Begitulah sebaliknya. Namun sadar kah, bahwasannya puisi yang berkalimat nilailah seseorang itu dari penampilannya pertama kali kau jumpa, adalah kesempatan pembohong untuk berencana. Kau, aku, dan beberapa orang bodoh dihidup ini terlalu mudah untuk tertipu dengan rayuan omong kosong orang yang penuh kegamblangan. Terlalu mudah mengagumi dari bangku yang ditempati. Ah sial, pidatonya padahal hanyalah rayuan seperti kebanyakan. Tak pula berisi, palingan hanyalah marilah marilah,  tapi dirinya sesuka hati. Mudah sekali anggukkan kepala hanya karena dia pangkatnya tinggi. Karena dia dinilai suci. Karena dia lelaki baik hati.

Maka tak heran. Kalau pelacur-pelacur itu menggeluti profesinya. Dibiarkan keringatnya bercampur dengan keringat lelaki lain. Aku suka cara itu. Dia tak perlu patah hati ditiap harinya, sebab tak ada yang diharapkan dari lelaki berbaju koko. Tak ada yang diharapkan kecuali duit di sakunya. Maka, Tuhan, Izinkanlah Aku Menjadi Pelacur menjadi bagian dari bacaan kesukaanku. 

kurenung-renungkan, betapa bodohnya aku, betapa tololnya aku yang dengan ceroboh telah memakan mentah-mentah dogma-dogma yang disuntikkan dikepalaku yang membuat nalar dan imanku terluka.

Harusnya, lebih banyak belajar, mencari tahu, dan teliti. supaya tidak runtuh serta terjatuh karena salah berkenalan pada orang-orang yang dianggap tahu.

Pekanbaru, 8–3–2022


Komentar

Postingan Populer