Pada 15 Desember 20 pukul 22.43 WIB

Masih pada ekspektasi...

.

.

Malam itu aku mengirimkan pesan suara pada temanku. Aku bercerita dengannya, perihal tes wawancara yang pernah kulakukan. Aku cerita ke dia, kalau aku melakukan atau ada menyelipkan bualan motivasi di sesi pembicaraan. 

Aku ingin lulus di wawancara itu. Aku ingin ikut berkontribusi. Aku juga ingin lelah. Lalu pada akhirnya aku benar-benar lulus.

Namun ternyata, aku tidak tahu bagaimana caranya aku lelah di sana. Aku tidak tahu bagaimana caranya menuangkan aspirasi. Sekarang aku benar-benar terlihat seperti penipu. Aku melupakan keinginan memberi yng terbaik, sekarang aku seperti papan tua di tengah hutan; tidak bisa apa-apa selain pasrah pada gigitan rayap. Tidak bisa apa-apa selain menunggu waktu aku dihusir dengan terhormat (atau mungkin tidak?) Atau mungkin aku seperti nasi basi, dibiarkan hingga melebur karena waktu lama yang berputar

Temanku membalas pesanku. Sama denganku, ia juga mengirimkan pesan suara. Satu menit, namun cukup menggertak pemikiranku.

Justru kamu melakukan hal yang benar. Kamu bersyukur karena telah berbohong. Hal itu akan menjadi tekanan dan mengapa kamu harus bekerja dan berusaha. Mungkim ini terdengar aneh, akan tetapi dengan kamu berbicara seperti itu kamu sudah memiliki beberapa alasan untuk melakukan sesuatu. Selain itu juga, jangan pernah menuruni ekspektasi orang lain terhadapmu.

Kalau mereka sudah berekspektasi tinggi denganmu karena omonganmu, jangan turunin eksepktasi mereka. Turuti ekspektasi mereka. 

Kalau kamu membantah omonganku karena itu bukan dirimu, kamu salah.

Kalau kamu mau tetap menjadi dirimu yang bodoh itu, sampai kapan? Sampai kapan kamu mau maju? Sampai kapan kamu akan hidup dengan kehidupan bodohmu itu?

Maka dari itu saranku, ikuti ekspektasi mereka karena bualanmu.

Komentar

Postingan Populer