true story: Sakura untuk Deva
written by: ellya
insired by: V.L
Sakura
sedang memberitahu kita, kalau kehidupan itu begitu singkat. Mekar hanya dalam
waktu satu minggu, tapi dalam waktu 168 jam itu dia beri kita cerita yang
indah. Karena itu, gunakan baik-baik waktu singkat itu
Sakura untuk Deva
Senin hari ini tidak biasa, semuanya terasa berbeda di mata Dara.
Tidak ada teriakan Bu Was – pedagang sayur keliling yang meriuhkan komplek,
tidak ada suara buah mangga jatuh di atas loteng kamarnya, tidak ada lagi kran
air yang bisa diajak kerja sama. Semuanya asing, dan Dara harus mengenalnya dari
awal. Sejak kematian Pak Bambang – ayah Dara, keluarga mereka memutuskan untuk
pindah ke kota lain. Jika ditanya apa alasannya, pasti Ratih – ibu Dara akan
menjawab terlalu banyak kenangan di sana.
“Ma, Dara ga mau sekolah,” lirih Dara kepada mamanya. Dari subuh
tadi, ia terus membujuk mamanya agar bisa bersekolah di esok hari, atau esok
harinya lagi.
“Kamu harus
sekolah!” kekeuh Ratih tegas. Ratih menatap mata cokelat anaknya,
mengirimkan sinyal-sinyal positif untuk lebih percaya diri ke sekolah barunya.
“Jangan buat mama
sedih Dara,” sambung Ratih melemah. Ratih merengkuh pundak anaknya yang
terbalut baju putih dongker itu. Sudah 14 tahun, namun masih terus bergantung
dengan mamanya. Suasana tiba-tiba hening hanya untuk memutuskan pergi ke
sekolah atau tidak. Masih dalam wajah yang memelas, Dara mengangguk kecil untuk
menuruti permintaan mamanya.
“Bagus. Semangat
untuk kita Dara. Kamu harus rajin belajar, dan mama harus lebih rajin bekerja,”
ucap Ratih bersemangat, dengan akhiran kecupan dikening anak semata wayangnya
itu. Dara tersenyum tipis melihat mamanya yang berambisi pagi ini.
***
“Hampir mirip. Aku
Deva kamu Dara, kayanya kita cocok deh untuk bersahabat. Eh, tadi kamu bilang
tinggal di blok C kan? Wah, kayanya rumah kita ga jauh deh. Tapi, kok aku ga
tahu ada tetangga baru ya? Nanti deh, aku tanya Bunda,” celoteh gadis pemilik
lesung pipit itu membuat Dara tersenyum. Setidaknya, hari pertamanya sekolah
tidak menjadi anak yang begitu pendiam. Ia butuh orang seperti Deva untuk
hari-hari awalnya di sekolah, atau untuk selama masa SMP nya selesai di sini.
“Dari tadi kamu
terus yang bercerita, gantian deh sih Dara,” ucap Dini mengingatkan Deva yang
dari tadi tidak berhenti bicara.
“Aku ga tahu harus
ngomong apa, aku jadi pendengar yang budiman saja deh,” balasnya dan membuat
Deva lebih bersemangat bercerita lagi.
“Nanti kamu pulang
sama kami ya. Kita pulang bareng-bareng. Wah, pasti seru! Kamu pulang sama aku,
aku yang bonceng. Kita naik sepeda,” sambung Deva kembali yang tidak
puas-puasnya berbicara. Sambil berbicara, ia juga mengerjakan PR IPS yang belum
diselesaikannya.
“Sampul buku kamu
cantik,” ucap Dara mengawali pembuka obrolannya. Deva dan Dini saling memandang
dan terlukis senyuman di sana.
“Deva ini
penggemar sakura Dar,” jelas Dini sambil memberi sampul buku lainnya pada Dara.
Dara mengamati buku-buku Deva secara keseluruhan, gadis cerewet ini ternyata
pecinta sakura. Ia membuka halaman demi halaman dibuku MTK Deva, tidak hanya
rumus ternyata angka-angka itu juga bersanding dengan tanaman Jepang itu.
“Kenapa Sakura?”
tanya Dara ingin tahu.
“Sakura sedang
memberitahu kita, kalau kehidupan itu begitu singkat. Mekar hanya dalam waktu
satu minggu, tapi dalam waktu 168 jam itu dia beri kita cerita yang indah.
Karena itu, gunakan baik-baik waktu singkat itu,” ucap Deva bijak. Suasana yang
tadi mencair menjadi penuh keharuan, “Juga, seorang samurai mengartikan Sakura
itu lambang keberanian, artinya kita tidak boleh takut dengan kematian.”
“Aku suka,” girang
Dara sambil mengguncang-guncang badan Deva. Dini ikut tertawa, namun tatapannya
sendu walaupun senyumnya tidak terlepas dari raut wajahnya.
***
Sepulang dari
sekolah, Dara kembali merasa kesepian. Mamanya bekerja, dan ia hanya sendirian
di rumah. Tapi, hari ini ia cukup bahagia karena bertemu dengan dua teman baru
yang tidak disangka-sangka. Deva, anak yang periang. Siapapun berada didekatnya
akan merasakan kedamaian, dan Dini anak yang ramah. Orangnya yang tidak pelit
jika memberi.
Tadi, mereka
pulang bersama. Dan benar, rumah ketiganya berdekatan walaupun dengan Dini
tidak searah. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan segalanya untuk Dara agar tidak
kewalahan menjadi murid pindahan. Atau mungkin ada cerita manis yang
dipersiapkan untuk satu tahun kedepannya. Apapun itu, harapan Dara adalah
semoga ketiganya bisa baik-baik saja sampai tamat dari SMP Pertiwi – SMP baru
Dara.
Klik. Pintu
terbuka dan memperlihatkan sosok wanita paruh baya. Wajahnya kelelahan, namun
senyumnya tidak pernah menghilang. Sejak kehilangan suaminya, wanita itu harus
bekerja dua kali lebih keras untuk kebutuhan dirinya dan anaknya.
“Dara, gimana
sekolah kamu nak? Maaf, tadi mama ga jemput kamu,” ucap Ratih menghempaskan
pantatnya di kursi sebelah Dara duduk.
“Besok, Dara pergi
sendirian saja ya ma. Pulangnya juga, soalnya ada teman Dara yang tinggal dekat
sini.”
“Jadi sudah dapat
teman?” tanya Ratih sambil mengelus kepala anaknya. Dara menganggukkan
kepalanya dan bersandar dipundak ibunya.
“Mama punya
hadiah,” ucap Ratih duduk menghadap ke Dara. Dara menaikkan alisnya, tidak
biasa mamanya seperti ini.
“Tada!!!” ratih
memperlihatkan dua tiket. Dara mengambil satu tiket tersebut dan membacanya,
matanya lalu membulat dan meloncat-loncat girang di atas kursi.
“Ini salah satu
hadiah yang ayah kamu persiapkan Dara,” gumam Ratih yang tidak terdengar oleh Dara.
***
“Aku baru belajar naik motor, ayo
kita naik motor,” seru Dini sambil memperlihatkan kunci motor milik salah satu
teman sekelasnya. Deva dan Dara saling berpandangan, lalu mengangguk secara
bersamaan. “Tour pertama kita kali ini ke bukit belakang sekolah ya,
jalanannya seru! Asik banget kalau untuk nambah pengalaman,” tambah Dini dengan
antusias.
“Eh, hati-hati lho ya Din. Kamu bawa
anak orang lho, ini juga motor punya orang,” ucap Deva mengingatkan. Dini
mengangguk mantap, dan ketiganya menaiki motor matic milik Peri –
sekretaris galak kelas mereka. Dini yang duduk paling depan sebagai supir, Dara
ditengah, dan Deva paling belakang. Karena pemula, Dini tidak berani membawa
dengan kecepatan tinggi. Mereka semua menikmati perjalanan dan semilir-semilir
angin yang berhembus, hingga sampailah mereka di bukit belakang sekolah.
Seperti candu akan nikotin, Dini merasa tidak puas dengan takaran yang semula,
ia menambah kadar-kadar memabukkan dan tanpa disadari mereka semua merasa
melayang di udara.
Motor yang dinaiki tadinya seperti
jalan tikus telah berubah menjadi jalannya kuda hendak berperang. Ketiganya
berteriak, tapi teriak girang dan terus tertawa dengan kencang. Dini merasa
sudah professional, motor yang dibawa sudah menjadi sahabatnya. Hingga, tanpa
mereka sadari semuanya, lubang dalam di depan menjadi penghenti tawa mereka.
Untuk sementara.
Bugh! Motor yang dibawa
terjatuh, Deva terlempar beberapa meter dari motor, dadanya menghantam jalan.
Sedangkan Dara wajahnya mencium tanah dengan keadaan kaki terhimpit motor. Dini
selaku supir masih digolongkan baik-baik saja dibandingkan kedua temannya.
“Dev, apa yang sakit?” tanya Dini
memucat. Ia mengangkat badan Deva setelah membantu Dara. Deva hanya terdiam,
tangannya bergetar dan membiru. Dara dan Dini saling memandang tidak mengerti
melihat keadaan Deva. Kakinya kaku, pandangannya kosong. Dini mengambil kedua
tangan Deva digenggamannya dan terus mengucapkan bisik-bisik doa tanpa henti,
terlihat jelas matanya membasah karena kepanikannya.
Setelah lima belas menit semuanya
kembali seperti semula, mereka memutuskan untuk kembali ke sekolah dengan
berjalan kaki. Motor Peri tidak baik-baik saja, bahkan jauh dari kata baik.
Sayap kiri da kanannya penuh dengan goresan yang tidak diinginkan, mesinnya
tidak mau dinyalakan. Dalam keadaan seperti ini, Deva tertawa
terpingkal-pingkal.
“Ini gila bener, aku ga akan pernah
lupain semua ini,” ucapnya disela-sela tawa. Dara ikut tertawa membenarkan
perkataan Deva, sedangkan Dini hanya terdiam sambil mendorong motor. Tatapannya
terbaca, kalau ia mengkhawatirkan sesuatu.
“Eh, berhenti sebentar dulu guys,”
ucap Deva kembali dengan rem kaki yang berhenti tiba-tiba. Dini memandangnya,
Dara menunggu perkataan selanjutnya. Deva langsung merangkul bahu kedua
temannya dan membuat lingkaran, ketiganya membungkuk seperti tim bola
mendiskusikan sesuatu. “Aku capek, duduk sebentar yok,” sambungnya dengan napas
yang berat. Dini dan Dara langsung tertawa dan terduduk di tanah sebagai saksi
bisu mereka.
***
Dara mengangkat
tas yang penuh dengan pakaian empat hari ke atas mobilnya. Setelah dikira-kira
selesai, ia dan mamanya langsung pergi ke bandara. Tidak, sebelumnya ia pamitan dengan Deva yang tadi
pagi menunggunya di depan rumahnya dengan sepeda. Ritual yang beberapa hari ini
mereka lakukan – pergi bersama naik sepeda.
“Maaf Dev, aku
mendadak pergi. Aku cuma empat hari kok,” ucap Dara sambil menepuk pelan bahu
Deva. Deva tersenyum getir dari atas sepeda memandang kepergian Dara, seperti
ada yang ingin disampaikan namun semuanya tertahan.
“Nanti, aku
bawakan bunga sakura untukmu,” ucap Dara kembali. Setelah berbicara seperti
itu, Dara berlari ke mobil meninggalkan Deva yang masih mematung di atas
sepedanya dengan lambaian dan senyuman sepertiga dari seutuhnya.
Tiket kemarin,
membawa Dara ke kampung Nobita itu bersama mamanya. Negeri yang sejak SD menjadi impiannya untuk dipijak, kini dalam
hitungan puluhan jam akan dilihat Dara secara langsung. Musim Semi, pasti
sakura sedang mekar-mekarnya. Ia membayangkan memakai kimono di bawah rontokan
sakura bak gulali itu. Empat hari, dan Dara harus memanfaatkan itu semua.
***
Setelah belasan
jam berada di pesawat, akhirnya Dara dan mamanya sampai di ibukota Jepang –
Tokyo. Kota dengan kekhasan Sakura dan kekentalan budaya itu, menjadi pilihan
Dara untuk memasukkannya menjadi daftar kota yang harus dikunjungi. Sayang,
hanya empat hari Dara berada di sini. Sebenarnya bisa saja selama satu minggu,
namun mengingat mamanya karyawan baru dan Dara pun baru beberapa hari di SMP
Pertiwi menjadi siswa, hal itu mengurungkan mereka untuk berlama-lama di Tokyo.
Dara mengambil
gawainya di saku celana. Ia menekan nomor Deva, berencana akan memberitahu
kalau ia sudah di Jepang dan akan mengambilkan Sakura untuknya.
“Halo Dev?”
panggil Dara.
“Hei, Dar. Gimana,
sudah sampai?” lirih Deva melemah. Suaranya dipaksakan keluar, bahkan hampir
menghilang.
“Kamu kenapa Dev?”
tanya Dara bangkit dari tempat duduknya. Air mukanya berganti dengan tanda
tanya, Ratih yang melihat kepanikan Dara
langsung mendekat dan memasang wajah yang jika dituliskan bertulis ‘kenapa?’,
dan Dara hanya bisa mengangkat bahu pertanda ia tidak tahu. Panggilan tiba-tiba
mati, padahal Dara masih dirundung penasarannya.
***
“Ma, Dara besok mau pulang,” ucap
Dara sambil mengunyah bagian Takoyaki. Ratih menatap mata anaknya, dan
menghentikan sarapan pagi itu. Ia meletakkan sendok dan bertopang dagu dengan
mata yang tidak terlepas dari sosok putri wayangnya itu.
“Kenapa?” tanya Ratih akhirnya. Dara
menunduk, meremas baju kanannya untuk menghilangkan sedikit gugupnya.
Seharusnya ia tidak takut, tapi kenapa semua terasa berbeda?
“Dara rasa ada yang aneh.”
“Kita pulang besok, makanan kamu
habiskan sekarang.”
Usai sarapan,
kedua wanita ibu dan anak itu menyusuri Taman Shinjuku Gyoen[1].
Tempat yang strategis dan menakjubkan untuk memandang sakura yang beribu batang
jumlahnya. Dara menikmati pemandangan berjenis-jenis Sakura dari berbagai macam
warna, diambilnya segenggam sakura jenis Kawazu-zakura di bawah. Bunga
yang menjadi sampul buku Matematika Deva, mungkin jika Dini dan Deva berada
bersamanya, pasti sekarang mereka bahagia. Segurat senyum di wajah Dara
tertarik mengingat peristiwa silam mereka terjatuh dari motor.
Bugh!
Sakura di genggaman Dara terjatuh berhamburan. Terlalu lama melamun, tanpa
disadarinya Dara menjadi penghalang jalan.
“Gomen[2]”
ucap Dara sambil membungkuk tiga puluh derajat sebagai permohonan maaf.
“Jikai wa kūsō
shinaide[3],”
seru seorang lelaki yang berkisar usia 3o tahunan. Dara mengangguk, tidak
mengerti apa yang dikatakan bapak yang menabraknya tadi. Dipungutnya kembali
sakura yang berserakan di bawah. Sebelum kembali ke penginapan, Dara mengambil
beberapa batang sakura untuk dibuat bucket yang akan dihadiahkan kepada
Deva – penggila sakura.
***
“Ini aku lagi di
bandara Din, sebentar lagi pesawatku terbang kok. Aku percepat pulang, emang
kenapa?” tanya Dara di gawainya.
“Oh, gapapa. Aku
sudah rindu nih samamu. Cepat pulang ya, kami senang kali karena kepulanganmu
dipercepat. Hati-hati.”
Panggilan
terputus, Dara memandang sakura dan oleh-oleh lainnya untuk kedua sahabatnya
itu. Baru beberapa hari mengenal, namun rasanya sudah lama bersama. Ada
perasaan rindu bersama sahabat barunya itu. Dara sama sekali tidak menyesal karena
meninggalkan Tokyo lebih cepat, mungkin ini yang terbaik.
***
Ini hari pertama
Dara sekolah setelah kepulangannya dari Jepang. Dikayuhnya sepedanya dengan
bertenaga menuju rumah Deva. Sampai di depan rumahnya, hanya kesunyian yang
didapati oleh Dara, seluruh jendela tertutup rapat. Bahkan halaman rumahnya
kotor oleh sampah daun yang berguguran, seperti rumah ditinggal pulang kampung
oleh pemiliknya. Dara memutar haluan menuju rumah Dini, kini Dara harus lebih
bertenaga lagi karena jarak rumah keduanya cukup jauh.
“Bu, Dini ada?
Atau sudah pergi ke sekolah?” tanya Dara kepada ibunya Dini yang duduk di kursi
depan. Wanita paruh baya yang ditanya itu kebingungan, “Kamu teman sekelasnya?”
tanyanya balik. Dara mengangguk, firasatnya mengatakan kebenaran ada yang tidak
beres.
Wulan – nama
ibunya Dini, mengatakan sesuatu dengan mimik wajah yang tidak dapat
digambarkan, ketika berbicara kedua tangannya bermain, kadang ia mengelus
kepalanya sendiri seperti menyayangkan sesuatu. Setelah menyelesaikan pembicaraan,
Dara pamit dan langsung mengayuh sepedanya menuju sekolah, SMP Pertiwi.
8.3, kelas itu
kosong. Tidak ada satupun siswa/i. Rasanya ingin marah, tapi kepada siapa. Dara
lalu menyeret kakinya ke kantor, menanyakan kemana seluruh teman-temannya pergi
meninggalkan kelas.
“Deva masuk rumah
sakit nak dan Alhamdulillah ia sudah sadarkan diri, sekarang keadaannya sudah
pulih. Ini alamat rumah sakitnya kalau kamu mau ke sana, bilang ke guru piket
ibu sudah beri izin,” ucap seorang guru bernama Ibu Ning – guru Seni Budaya
yang mengajar di kelas mereka. Lagi-lagi, Dara mengandalkan sepedanya untuk
sampai ke rumah sakit yang tidak begitu jauh dari sekolahnya. “Semangat
Dara!” bisiknya dalam hati.
***
Setiba di rumah sakit, Dara
menemukan kerumunan siswa/I yang menggunakan seragam serupa sepertinya. Dara
memperbaiki penampilannya dahulu, menghilangkan kepenatan lalu bergabung
bersama teman-teman lainnya di depan ruang rawat.
“Eh, Dara! Kok sudah sekolah?
Katanya empat hari?” tanya Indah salah satu teman sekelas Dara. Semuanya
menoleh ke arah Dara, yang hanya terbalaskan senyumnya saja. Dini yang
mendengar nama Dara langsung menemuinya.
“Dar. Aku pikir besok sekolahnya. Oh
ya, ada banyak yang mau aku bicarain tentang Deva. Semuanya, yang ga kamu
tahu,” ucap Dini sambil menggenggam tangan Dara. Dara mengangguk dan akhirnya
mereka terduduk di kursi tunggu. Hanya berdua.
“Deva itu pengidap penyakit bawaan
Dar, jantung bocor! Kata bundanya, dia sudah pernah dioperasi waktu umur dua
tahun. Dan ini operasi keduanya. Alhamdulillah semuanya lancar Dar. Tadi, Deva
sempat sadarkan diri tapi kata dokter sekarang harus istirahat. Kita doain ya,
semoga ga terjadi apa-apa. Oh ya, kata dokter Insha Allah dua atau tiga hari
lagi Deva sudah boleh pulang kok, kita bakalan main sama-sama lagi.”
“Aku sedih Din, di sini ternyata aku
ga tahu apa-apa. Tapi aku senang kok, kalau Deva sudah sadarkan diri, apalagi
lusa diperkirakan sudah boleh pulang,” lirih Dara dengan tetesan air mata. “Aku
emang baru di sini Din. Kenal kamu, kenal Deva. Ga tahu kenapa, rasanya kalian
berharga banget untukku,” tambahnya lagi. Dini langsung menarik Dara ke dalam
pelukannya dan mengusap-usap punggung belakangnya. “Aku juga kok Dar.”
***
Senin pagi, SMP
Pertiwi mengadakan doa bersama di lapangan sekolah. Mendoakan Deva, salah satu
siswi kelas 8.3 agar diberi kesehatan seperti sedia kalanya. Teman-teman,
dan guru yang berada di lapangan,
meneteskan air mata yang lama tertahan. Siapa yang tahu atas takdir Tuhan?
Siapa yang tahu atas senyuman di atas kemalangan?
Kemarin Deva sudah
dinyatakan baik-baik saja, bahkan beberapa hari lagi ia diperbolehkan pulang
dan mengikuti kegiatan belajar. Tapi, pagi ini ibundanya mengatakan Deva
kritis. Dengan penuh permohonan, ia meminta doa kepada teman-temannya di
sekolah agar Deva mampu bertahan dimasa kritisnya.
“Semoga teman kita
Deva bisa kembali lagi ke kelas ini,” ucap Algha – selaku ketua kelas. Semuanya
ikut mengamini, namun seluruh tatapan mata teman-temannya menatap kosong.
Mengatakan tidak ada lagi sedikitpun harapan, tapi mereka berharap dengan ketidak mungkinan.
***
21:15 WIB
Dara
membalik-balik buku IPA nya, mencari jawaban Fisika yang tidak dimengerti.
Tiba-tiba saja, tatapannya terhenti pada bucket Sakura yang menghiasi meja
belajarnya. Matanya perih, tapi Dara juga merasa haus. Ia menyeret badannya ke
dapur, mencari segelas air untuk ketenangannya.
Kring.. kring..
Dering gawai Ratih memecah kesunyian di ruang tamu. Wanita karir itu
langsung memencet asal dan mengangkat nomor yang tidak diketahuinya. Wajahnya
yang hanya terfokus pada lembaran-lembaran laporan kerja, kini dihempas
keseluruhannya. Matanya membulat, spontan berdiri dari tempat duduknya dan
langsung berlari memeluk gadis semata wayangnya.
“Deva…”
“Sudah ya ma?”
tanya Dara berhati-hati dalam pelukan mamanya. Ratih mengangguk ragu menjawab.
“Ga mungkin ma,”
teriak Dara melepaskan pelukan mamanya. Kini, Ratih hanya bisa memandang
anaknya yang malang itu melepaskan kesedihannya dengan membanting teko dan
gelas-gelas di dapurnya.
Pukul 23:45 WIB,
ibunda Deva memaksakan menguatkan diri untuk mengantarkan anaknya ke liang
lahat. Takut, kalau ia menarik tubuh lemas anaknya itu kembali tanpa ingin
mengebumikannya. Ramai-ramai para pelayat ikut menyaksikan penguburan Deva,
walaupun malam sudah gulita. Para guru, tetangga, teman-teman SMP Pertiwi mulai
dari adik kelas, seangkatan, dan kakak kelas. Semua menyaksikan momen sedih
terakhir itu.
Dara menaburkan
sakura jenis Shinjuku Gyoen itu di atas makamnya. Semoga, sakura ini
membuat Deva senang di sana. Usai sudah janji Dara untuk membawakannya sakura,
walaupun bukan dengan bucket tapi dengan taburan di atas makam dengan nisan
bertuliskan nama Qadeva Serrulata.
***
3 jam sebelumnya…
Para dokter
kewalahan melihat kondisi Deva yang tiba-tiba kembali melemah. Setelah dua kali
pindah ruangan, keadaan Deva semakin parah. Terakhir, Deva diputuskan untuk
masuk ke ICU, namun takdir berkata lain. Sekuat apapun dokter berusaha, jika
sudah waktunya maka tidak ada yang boleh menentang-Nya.
Disaat yang
bersamaan, fungsi jantung Deva berkurang dan menyebabkan menurunkan daya
pompanya. Paru-paru Deva telah terpenuhi oleh darah yang menyebabkan ia sesak
napas, dan mengembuskan napas terakhirnya di ruang ICU.
***
Tidak ada lagi
bersepeda dan tertawa bersama. Semuanya hanya tinggal bayangan bernama
kenangan. Semuanya, tentang kita adalah peninggalan yang haram untuk
dilupakan. Tenang di sana, dan di sini kami
akan selalu mendoakanmu.
*inspirasi
kisah nyata
Komentar
Posting Komentar