Memories Of Bread


Hari ini aku hanya bisa mematung
Mendoakan dari hati yang tidak terdengar oleh rasa yang berjerami
Aku rindu
Yang ternyata rindumu juga milikku

Memories Of Bread

            Hujan yang mengguyur atap SMA 3 Bekasi tidak mematahkan rencana Riana yang matang. Hari ini, ia berjanji akan mengungkapkan perasaannya pada Dio – kakak kelas yang sudah lama membuatnya penasaran.  Karena esok adalah hari perpisahan sekolah, dan seluruh kelas 12 menuju gedung untuk gladi resik maka Riana menunggu kedatangannya tepat di depan gerbang sekolah. Berdiri sambil memegang payung, siapapun yang melihatnya akan mengira bahwa Riana sedang menunggu jemputan, padahal yang ditunggu adalah Dio, laki-laki yang ditunggu sejak beberapa jam yang lalu.
            Dari jarak lima meter, Riana melihat lampu motor menuju sekolah. Riana meremas roknya untuk menenangkan hatinya yang gelisah.
            “Kak berhenti,”  stop Riana sambil merentangkan tangannya. Dio mengerem motor secara tiba-tiba dan membuka helmnya, membiarkan rambutnya basah oleh guyuran nikmat Tuhan.
            “Deluan oi,” Titah Dio pada teman-teman yang menunggunya, setelah dipastikan teman lainnya  masuk ke sekolah, Dio menanyakan maksud Riana memberhentikannya. “Maaf, ada apa?” tanya Dio formal.
            Wajah gugup itu terlukis jelas di wajah Riana. Wajar saja Dio menanyakan hal tersebut, karena ia sama sekali tidak mengenal Riana. Hanya Riana yang tahu akan Dio, menatap dari kejauhan tanpa rasa jenuh.
            “Maaf kak, basah!” ucap Riana frontal. Kata-kata yang seharusnya tidak keluar. Dio menyerngitkan kening, membentuk tanda tanya di kepala.
            “Kak, saya suka kakak! Tolong ambil ini.” Kata Riana sambil memberikan paper bag berisi hadiah kenangan. Setelah berada di tangan Dio, Riana berlari meninggalkan Dio menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa melihat ke belakang, Riana membanggakan dirinya sendiri.
***
            “Kalau seperti ini, toko kita bisa tutup pak. Bapak masih mau kerja dengan saya kan?” tanya gadis itu sambil membentak karyawannya. Yang dibentak hanya terdiam, dan sesekali menganggukkan kepalanya.
            “Yasudah, balik.” Lanjutnya sambil memijat hidungnya.
            Riana – Ya, gadis itu bernama Riana! Pemilik toko roti  yang sudah dirintisnya selama lima tahun ini. Diusianya yang masih terbilang muda, ia memiliki ambisi untuk mensukseskan tokonya, tapi sekarang toko itu diambang kebangkrutan.
            Tok…Tok…Tok…
            Riana mengangkat kepala dari atas meja, melihat pintu dan berteriak, “Masuk,”. Tampak seorang wanita masuk ke ruangan kerja Riana dengan berbagai dokumen laporan keuangan.
            “Bu, ini laporan bulan lalu. Oh ya, ada tamu di depan yang ingin bertemu dengan ibu,” ucap Rita sopan.
            “Saya ga punya janji hari ini.”
            “Mereka ingin menawarkan kerja sama dengan kita bu. Dari pabrik coklat yang terkenal itu bu,” tambah Rita menjelaskan. Riana menatap karyawannya dengan wajah berbinar.
            “Cepat suruh mereka masuk,” sigap Riana sambil membenarkan rambutnya yang acak-acakan.


            “Saya Riana pemilik toko roti ini,” ucap Riana memperkenalkan diri dengan lembutnya.
            “Ya, saya sudah tahu.”
            “Baik, saya akan langsung menjelaskan dari…”
            “Kamu tidak tanya siapa nama saya?” tanya pria itu dengan dinginnya. Riana menggembungkan mulutnya, antara kesal namun ia harus menahan.
            “Ah, iya maaf!” ucap Riana merendah
            “Putra Ferdio,” ucapnya jelas. Riana mengangguk dan mengambil segelas kopi di atas meja.
            “Huh, bagaimana tidak bangkrut kalau pemiliknya saja terlihat bodoh?” celetuk pria itu dengan angkuhnya. Mereasa kaget dan spontan, Riana menyemburkan kopi itu tepat di wajah tampan pria tersebut.
            “Dasar bodoh! Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama denganmu? Pak Topik, survei toko roti di seluruh Bekasi, dan tawarkan kerja sama kita pada mereka kecuali toko ini,” kesal pria itu sambil memberishkan wajahnya dengan telapak tangannya. Dihembuskan napasnya dengan kasar dan menatap Riana yang dihadapannya.
            “Saya minta maaf atas hari ini,” ucap Riana kembali meminta maaf.
            “Huh, kau emang bodoh ternyata ya?”
            “Jangan katakan saya bodoh. Jika emang ingin pergi silakan pergi dari ruangan saya. Saya cukup cerdas untuk mengatasi ini semua,” yakin Riana mantap.
            “Dari dulu kau emang percaya diri ya.” Ucapnya sambil berlalu dari hadapan Riana meninggalkan ruangan itu. Rita – sekretarisnya menenangkan dengan membuatkan segelas kopi baru.
***
            “Kenapa ibu tidak menerima tawaran bapak yang kemarin itu bu?” tanya Iwan salah satu karyawan Riana. Riana masih geming, menatap karyawan lainnya mengolah roti yang makin lama makin tidak laku.
            “Ibu. Saya ga mau diPHK, saya mohon,” ucap Iwan kembali memelas. Riana menatapnya miris, ia juga tidak ingin roti-roti ini menghilang begitu saja, ia harus mempertahankan cita-citanya. Hari ini juga, Riana bertekad menghilangkan rasa gengsinya.
            “Doakan saya.” Ucap Riana berlalu menuju ruangannya.
            Setiba di ruangan, Riana menatap kartu nama yang ditingga pria kemarin  dengan sengaja. Riana menghubungi nomor tersebut dan mengajak pria itu untuk bertemu dan membicarakan ini hingga usai.

            “Saya minta maaf atas kelakuan saya kemarin, saya salah dan Anda benar, saya cukup bodoh!” ucap Riana memulai pembicaraan. Pria tersebut memalingkan wajahnya, lebih asik memainkan kuku-kukunya.
            “Saya butuh Anda untuk menolong toko saya, kenapa tidak kita lanjutkan kerja sama ini?” ucap Riana kembali dengan segenap keberanian.
            “Saya menginginkan toko roti Anda, tanpa mau Anda berada di sana,” kata pria itu dengan santainya. Riana memblalak, protes dengan ucapan tersebut.
            “Karena saya mau Anda berada di rumah, mengurus anak-anak kita nantinya, membereskan rumah, dan saya tidak ingin punya pembantu,” lanjutnya lagi. Riana menyipitkan matanya, terheran dengan ucapan pria dihadapnnya kini.
            Kenapa saya memilih roti? Karena bagian termanis dalam kehidupan saya ada di sana. Sisanya kakak lah yang menyita,…”  ucap pria tersebut seakan bersyair. Riana menghentakkan meja dengan tangannya, dan menutup sebagian wajahnya dengan tas yang dibawa. Ia ingat sekali, apa yang dikatakan pria tadi adalah goresan tinta yang pernah dikirimnya dulu masa SMA.
            “Aku pikir, aku akan mendapatkan bunga, atau cokelat seperti hadiah pada umumnya. Ternyata gadis bodoh ini…”
            “Kak Dio!!” teriak Riana histeris. Senang, tapi sangat malu untuk mengingat dirinya yang dahulu.
            Would  you marry  with me?” tanya Dio dengan senyum tipis dan cincin yang siap dipasangkan jemari Riana.
            Air mata itu terlihat jelas diwajah Riana. Tidak sia-sia ia menahan dinginnya hujan diwaktu masa SMAnya. Riana mengangguk dan Dio memasangkan cincin itu di jemari manis.
            “Jadi, kemana setelah hari itu? Kau menghilang Riana,” tanya Dio.
            “Itu hari terakhir aku di Bekasi kak. Setelahnya, aku pindah ke Palembang dan menamatkan SMA di sana. Lalu kembali lagi kemari, ke Bekasi,” jelas Riana masih dengan ekspresi bahagianya.
            “Ya, kita akan tuntaskan cerita kenapa kau bisa suka denganku dimalam pertama kita,” ucap Dio penuh dengan kejahilan. Rona merah itu menghiasi pipi chubby milik Riana.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer