Fiction: Janji Bulan Juni


written by: Ellya Syafriani
 dokumen: pribadi.

Terlalu berharap sebenarnya,
Pada Juni yang merebutkan kisah indah
Berebut mahkota,

Pada purnama penuh lara

1 Juni 2014
            Zara menyapu pandangannya, sesekali disapu matanya dengan punggung tangan. Hari ini perasaannya bahagia, tapi juga ada perasaan lain yang ikut bersamanya. Perasaan itu bernama sedih, ya Zara sedang sedih sekarang. Ada air mata perpisahan yang terlalu berat untuk dikeluarkan, bersama rasa haru bahagianya.
            “Akhirnya kamu bisa ngalahin peringkat aku,” ucap Dimas dengan senyum yang dibuat-buat. Zara menatap pria yang berdiri di depannya dengan memohon untuk tidak pergi dari hadapannya.
            Please, jangan pergi,” pinta Zara memohon.
            “Aku minta maaf  Zar. Aku juga ga mau, tapi aku ga bisa,” gumam Dimas lirih.
            “Kamu janji bakalan mau jadi saingan aku sampai semester terakhir. Tapi kenapa sekarang sudah kalah?”
            “Aku ga bakal cari saingan baru kok, kamu juga ya. Pertahankan peringkat 1 nya, berat lho untuk rebut peringkat itu dari aku. Sekarang aku pergi, kamu sudah lebih mudah kok, hehe,”
            “Jangan nangis dong! Oh ya, sekarangkan bulan Juni. Juni ditahun depan kita ketemuan lagi ya, ditanggal hari ini juga. Temui aku ditempat pertama kali kita jumpa jam sepuluh pagi,” sambung Zara lagi.
            “Aku lebih suka kalau kamu bohongan mau pindah sekolah,” pinta Zara merengek.
            “Gak, aku serius. Bye aku pergi dulu ya, papa sudah menunggu,” pamit Dimas sambil melambai ke Zara, teman sekelasnya sejak sebelas tahun lalu. Mengenal Dimas selama sebelas tahun sejak SD, sama sekali belum Zara temui rasa bosan. Semua tentang Dimas menarik untuk diketahui, hingga hari ini ketika dua remaja itu harus berpisah pada semester 3 di bangku SMA, segala tentang Dimas harus berakhir.
***
1 Juni 2018
            Zara buru-buru menyelesaikan tugas kuliahnya agar ia tidak terlambat untuk mendatangi tempat yang akan dikunjungi. Hari ini, apapun yang terjadi ia tidak boleh kalah seperti tahun-tahun sebelumnya. Entah pria kecilnya masih ingat janji itu, atau sudah melupakannya, atau prianya marah karena sudah melewatkan beberapa tahun untuk menunaikan janji.
            “Aku antar lagi ya?” pinta Aldi seperti hari-hari biasa. Zara tersenyum memohon maaf, karena hari ini permintaan temannya akan ditolaknya.
            “Aku mau pergi, kamu pulang sendiri saja.”


            “Pasti buru-buru? Gapapa kok, aku suka antar kamu. Bilang mau pergi kemana, pasti aku antar,” ucap Aldi tidak putus asa sambil menyeimbangi jalan Zara di sebelahnya.
            “ Terserah!”


            “Tempat ini lagi?” tanya Aldi yang pernah mengunjungi tempat itu. Zara hanya diam, berdiri di tengah lapangan basket seperti tahun-tahun sebelumnya, menunggu seseorang yang tidak pernah datang. Aldi, orang yang menemani Zara dalam kesendiriannya, menunggu orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
            “Tahun lalu seperti ini juga, dan dia ga datang kan?” tanya Aldi mulai kesal.
            “Sebenarnya dia itu siapa sih?” tanya Aldi lagi. Zara sama sekali tidak merespon pertanyaan temanya, jemari lentiknya asik menari di atas keyboard gawai dan mengembuskan napas kasarnya. Kesal, nomor yang dituju tidak pernah mau mengangkatnya.
            Gerimis turun, membasahi anak poni gadis itu. Berdiri tegak dengan harapan yang tidak menentu membuatnya ingin menyerah, tapi rasa putus asa itu langsung tergeser oleh perasaan bersalahnya. 1 Juni 2015, pada tanggal itu seharusnya Zara menunggu bukan 2016 apalagi sekarang ini 2018.
            “Zara!” teriak seseorang dari kejauhan, Zara mencari asal suara dan menyipitkan pandangannya hingga korneanya menangkap tubuh rengkuh milik Sindi, yang tidak lain adalah kakaknya Dimas.
            “Kak Sindi, apa kabar?” tanya Zara berbasa-basi. Aldi menjaga jarak dari dua obrolan wanita itu, menatap Zara dari kursi yang tersedia di lapangan basket.
            “Baik. Bersyukur hari ini kita jodoh, banyak hal yang mau aku ceritakan ke kau perihal bulan Juni nih,” ucapnya membuat Zara kebingungan.
            “Juni? Maksud kakak?”
            “Jangan lagi menunggu Dimas, aku tahu kau selalu menanti Juni setiap tahun baru Zara. Junimu telah mati, Dimas sudah pergi,” ucap Sindi memberitahu. Gawai yang digenggaman Zara terjatuh tanpa aba-aba, badannya melemas mendengar berita yang baru didengarnya.
            “Aku salah kak karena seharusnya 2015 kami bertemu, tapi aku yakin Dimas masih ingin memenunaikan janji kami. Sebentar lagi Dimas datang kok kak.”
            Sindi menggelengkan kepalanya, membantah perkataan gadis yang berdiri di hadapannya saat ini. “Kamu pulang saja, ga ada yang akan datang lagi kemari. Hujan akan semakin deras,” ucap Sindi sambil berlalu. Zara menarik tangan Sindi dan melempari ribuan pertanyaan dari tatapannya.
            “Kalau begitu kemana Dimas pergi?” tanya Zara penasaran.
***
31 Mei 2015
            Dimas membalik-balikkan lembaran halaman modulnya. Kembali mengulang hafalan sebelum tim mereka dipanggil, mulutnya komat-kamit dengan mata yang terpejam. Ia mengulang bacaan dari buku yang dihafalnya.
            “TIM C, dari SMA Plus.” Panggil juri dari speaker. Dimas menatap timnya, Yana. Lalu keduanya menaiki tangga dan menduduki kursi yang telah tersedia. Kurang lebih setengah jam mereka di sana, menumpas seluruh pertanyaan dari juri dan saling berebut pertanyaan dengan tim lainnya dengan saling berkejaran skor nilai.
           
            “Berdasarkan final ini, juara satu cerdas cermat se-Kota Surabaya tingkat SMA 2014, diraih oleh Tim C dari SMA Plus,” ucap panitia yang langsung disambut oleh riuhan tepuk tangan penonton. Senyum bangga terpampar oleh siswa/I SMA Plus. Yana memandang Dimas, tersenyum seolah mengucapkan terima kasih.
            Thanks ya Dim,” ucap Yana saat pengambilan foto.
            “Kok terima kasih? Seharusnya ‘selamat’, karena ini tim kita bukan tim aku.”
            “Ah iya, kamu benar. Mau pulang bareng?” tawar Yana masih dengan senyum hangatnya.
            “Gak, papaku dah jemput. Aku deluan ya, bye.”
***
            “Pa, kita jadi ke Pekanbaru?” tanya Dimas pada laki-laki berkacamata hitam itu.
            “Jadi dong. Kita ke rumah dulu, setelah itu ke bandara,” ucap papanya membuat anak lelakinya itu girang kesenangan.
            “Hari ini? Ga jadi besok? Tapi papa hari ini,…”
            “Kan kamu berhasil juara 1,” ucap papanya memotong pembicaraan Dimas. Dimas tersenyum pada papanya, akhirnya lelaki itu mau mengerti suasana hatinya setelah sekian lama.

             June is a love song sweetly sung, June is bustin’ out all over!” nyanyi Dimas pada lagu favoritnya, June Is Bustin out All Over.
            “Pa, kiri pa. Aku mau beli kado dulu, takut nanti di Pekanbaru ga,…”
            Braak!
            “Pa,” panggil Dimas lirih. Pandangannya gelap dan menghilang dalam sekejap. Aliran kental mengalir deras dari kepalanya, begitupun dengan mulutnya yang terus mengeluarkan cairan berwarna merah itu. Perlahan-lahan, ingatan kompetisi cerdas cermat tadi membekas bersama senyum Yana yang menawarkan tumpangan. Bayangan itu menari-nari, hingga hilang dan tergantikan dengan memorinya satu tahun yang lalu, saingan yang disukainya menangis meratapi kepergiannya.
***
 1 Juni 2015
            Langkah kaki gadis itu berjalan dengan terburu-buru, dan tidak lama kemudian berlari dengan rapuh. Tangannya terayun, dan terkadang menepis air mata yang terus mengalir. Ia mencari para korban kecelakaan bruntun hari ini, membuka satu-satu tirai dan membaca nama para korban. Tidak ada satupun nama orang yang dicarinya.
            “Atas nama Dimas Qilangga,” ucapnya pada suster yang berjaga di sana. Suster membaca daftar nama dan segera mencari nama yang baru saja disebutkan.
            “Korban berada di ICU, ia mengalami koma,” ucap suster dengan prihatin. Gadis itu mengangguk, jalannya tidak lagi seburu-buru tadi karena ia tahu harus kemana melangkah.         
            Ia berdiri di depan ICU, menatap adiknya yang terbaring lemah. Matanya memerah, dari tadi matanya terus-terusan menangis.
            “Papa?” ucapnya baru teringat, ada satu lelaki lagi yang harus dilihatnya di sini. Ia kembali lagi ke ruangan tadi dan menanyakan keberadaan papanya pada suster.
            Sindi menatap pria separuh abad itu. Matanya terpejam,  dan beberapa tulangnya patah, namun ia dapat dikatakan lebih baik dibandingkan adiknya. Ia merasa bersyukur dalam keadaan seperti ini ibunya telah tiada, dan tidak merasakan sakit ketika suami dan anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Cukup dia, yang merasakan betapa khawatirnya agar mereka tidak juga ikut ‘menghilang’.
            “Anda keluarga dari pasien atas nama Dimas Qilangga?” tanya dokter dari balik tirai ditemani suster tempatnya bertanya tadi. Sindi mengangguk dan menunggu ucapan dokter itu selanjutnya.
            “Kita perlu berbicara.”


            “Maaf sebelumnya, Saudara Dimas tidak ada lagi bersama kita.” Ucap dokter yang membuat Sindi kehilangan arah. Ia tidak mau lagi mendengar penjelasan dari dokter, kepergian Dimas sudah mejadi takdir yang tidak dapat lagi dibantah. Setelah mengucapkan hal itu, sang dokter berusaha menenagkan keluarga pasien yang sudah tiada.
***
            Zara sudah mendengar semua penjelasan dari Sindi. Sama, ia menangis seperti Sindi dibeberapa tahun yang lalu. Benar katanya, Juni telah berakhir di sini. Ia tidak perlu lagi menunggu kedatangan Dimas pada pukul 10.00.
            “Lalu bagaimana kakak tahu kalau aku selalu menunggu Dimas di sini?” tanya Zara dengan suara seraknya.
            “Papa cerita ke aku. Ambisi Dimas terlalu kuat untuk bertemu kamu dibulan Juni ditempat ini. Papa juga yang mengatur pertemuan itu Zar, tapi sayang banget,” ucap Sindi dengan ingatan yang menyedihkan. Ia tidak mampu lagi mengucapkan kata-kata selanjutnya, karena sama saja ia mengulang luka yang serupa.
            “Kamu pasti sudah nungguin dia,” ucap Sindi dengan tatapan kosong. Zara menggeleng, suaranya bertambah parau karena merasa bersalah.
            “Waktu itu aku malah lupa kak. Aku malah lebih tergiur dengan makanan gratis di kafe baru buka dekat sekolah. Jam lima sore, aku baru teringat. Aku pikir Dimas marah karena aku telat, dan aku menghukum diriku untuk datang kemari tiap tanggal 1 Juni.  Aku pikir Dimas bakalan datang, tapi ternyata,…”
            “Tapi ternyata kamu salah tempat. Seharusnya kamu ga kemari kalau mau nemuin dia. Ikhlaskan Zar, Dimas pergi dengan tenang walaupun satu impiannya belum tercapai.”
            Hujan semakin deras. Sindi telah pergi, namun Zara tetap berdiri di tengah lapangan itu. Memorinya kembali terulang, menceritakan kisah mereka pertama kali bertemu. Menceritakan perkelahian mendapatkan nilai tertinggi, hingga cerita itu usai tepat pada Dimas berjanji akan menemuinya di sini pada Bulan Juni.
            Aldi menatap dari tempatnya. Badannya basah seperti Zara, kini ia tahu gadis yang dicintainya baru saja kehilangan pria yang dicintainya.



Rokan Hulu, 2019.

Komentar

Postingan Populer